Makalah Tafsir Tarbawi Media Pendidikan

MEDIA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir II (Tarbawy)
Dosen Pengampu : Azzah Nor Laila, S.Th. I.,M.S.I.

Disusun Oleh
Kelompok 6 :
Ahmad Fadholi           (161310003552)
Alfiatur Rokhmaniah  (161310003574)
Fatakhu Rian               (161310003606)
Dewi Tri Anjani          (171310003754)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(UNISNU) JEPARA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018



KATA PENGANTAR

           
                             
Bismillahirrohmanirrohim, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita dapat membedakan antara perkara haq dan bathil. Sholawat salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Makalah ini untuk memenuhi tugas  mata kuliah Tafsir II (Tarbawy). Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan.




Jepara, 8 November 2017

Penyusun





DAFTAR ISI








BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar bahasa merupakan usaha yang tidak gampang dan kadang menjenuhkan, bahkan kadang kala membuat orang frustasi. Hal tersebut merupakan hambatan dalam mendalami suatu ilmu, Dalam kaitannya dengan usaha menciptakan suasana yang kondusif itu, alat/media pendidikan atau pengajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Sebab alat/media merupakan sarana yang membantu proses pembelajaran terutama yang berkaitan dengan indra pendengaran dan pengelihatan. Adanya alat/media bahkan dapat mempercepat proses pembelajaran murid karena dapat membuat murid lebih cepat menanggapi pelajaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah antara lain:
1.      Apa pengertian media pendidikan ?
2.      Bagaimana tafsir surat Al-Alaq ayat 4-5 ?
3.      Bagaimana tafsir surat Al-A’raf ayat 57 ?
4.      Bagaimana tafsir surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan Al-Kahfi ayat 78-80 ?
5.      Bagaimana tafsir surat Al-Isra’ ayat 14 ?
6.      Apa pesan tarbawy dari keempat surat mengenai media pendidikan ?

C. Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian media pendidikan.
2.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Alaq ayat 4.
3.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-A’raf ayat 57.
4.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-80.
5.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Isra’ ayat 14.
6.      Untuk mengetahui pesan tarbawy mengenai media pendidikan.

BAB II
MEDIA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

A. Pengertian Media Pendidikan

Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Menurut Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.[1]
Asosiasi Pendidikan Nasional memiliki pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya. Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar, dan dibaca. Jadi, media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru. Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek, dan lain-lain yang dapat memberikan pengalaman konkret, motivasi belajar serta mempertinggi daya serap belajar siswa.

B. Tafsir Surat Al-Alaq 4-5

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5
Artinya: “Yang mengajar dengan Pena, Mengajar manusia apa yang belum diketahui (nya)”. (QS. Al-Alaq ayat 4-5).
Ayat diatas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-Nya itu dengan menyatakan bahwa : Dia Yang Maha Pemurah itu yang mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum diketahui-nya.


Kata القلمم terambil dari kata kerja قلم (qalama) yang berarti memotong ujung sesuatu. Memotong ujung kuku disebut تقليم. Tombak yang dipotong ujungnya sehingga meruncing dinamai مقا ليم. Anak panah yang runcing ujungnya dan yang bisa digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam. Alat yang digunakan untuk menulis dinamai qalam karena pada mulanya alat tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya.
Kata qalam disini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Ini karena bahasa sering kali menggunakan kata yang berarti “alat” atau “penyebab” untuk menunjuk “akibat” atau “hasil’ dari  penggunaan alat tersebut. Misalnya, jika seseorang berkata, “saya khawatir hujan”, yang dimaksud dengan kata “hujan” adalah basah atau sakit, hujan adalah penyebab semata.
Pada kedua ayat diatas terdapat apa yang dinamai ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat 4, kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian, kedua ayat di atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajrka manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya”. Kalimat yang telah diketahui sebelumnya disisipkan karena isyarat pada ayat kedua, yaitu yang belum atau tidak diketahui sebelumnya, sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam ayat pertama.
Dari uraian di atas, kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat di atas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah SWT. dalam mengajar manusia. Pertama melalui media pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang  kedua melaui pengajaran secara langsung tanpa alat (tanpa media). Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm ladunniy.

C. Tafsir Surat Al-A’raf ayat 57

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (57)
Artinya: “Dan Dia-lah yang mengutus aneka angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); sehingga ia telah memikul awan yang berat. Kami halau ia ke suatu daerah mati, lalu Kami turunkan hujan di sana, maka Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”
Kata ar-riyah berbentuk jamak sehingga diterjemahkan dengan aneka angin. Memang angin bermacam-macam, bukan saja arah datangnya, tetapi juga waktu-waktunya. Biasanya, jika Al-Qur’an menggunakan bentuk jamak, angin dimaksud adalah angin yang membawa rahmat dalam pengertian umum, baik hujan maupun kesegaran. Tetapi, bila menggunakan bentuk tunggal rih, ia mengandung makna bencana. Ini agaknya karena bila angin beragam dan banyak lalu menyatu, tentu saja kekuatannya akan sangat besar sehingga dapat menimbulkan kerusakan.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa, sebelum hujan turun, angin beraneka ragam atau banyak. Namun, sedikit demi sedikit, Allah mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-nya partikel-patikel itu sehingga ia tindih-menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Nah, Anda lihat ayat di atas pada mulanya menggunakan kata angin dalam bentuk jamak, tetapi setelah ia terhimpun dan menyatu menjadi satu kesatuan, bentuk yang dipilih bukan lagi bentuk jamak, tetapi tunggal. Karena itu, kata yang digunakan adalah suqnabul/Kami halau ia, yakni dalam bentuk mudzakar, padahal sebelum kata aqallat dalam bentuk mu’annas. Bentuk muannas antara lain menunjuk kepada makna jamak, sedang bentuk nudzakar kepada makna tunggal. Sungguh amat teliti redaksi ayat-ayat al-Qur’an lagi sejalan dengan hakikat imiah.
Di sisi lain, ketika aneka angin itu belum mengandung partikel-partikel air, kata yang digunakan adalah Kami mengutus untuk mengambarkan bahwa angin ketika itu masih ringan dan seakan-akan dapat berjalan sendiri tanpa diarak atau didorong. Tetapi, ketika ia telah menyatu, maka keadaannya menjadi berat sehingga gerakannya menjadi lambat. Maka, untuk itu digunakan kata suqnabul/Kami halau ia. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa Allah swt. yang menentukan di mana arah turunnya hujan itu.   
Kemudian di tafsir Ibnu Katsir dijeaskan, firman Allah Ta’ala, “Hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung”, yakni apabila angin itu membawa awan yang berat karena mengandung banyak air, maka ia semakin dekat jaraknya ke bumi untuk turun. Firman Allah Ta’ala, “Kami menghalaunya ke suatu negeri yang mati,” yakni ke negeri yang mati dan tandus. Penggalan ini seperti firman Allah Ta’ala,”Dan merupakan suatu tanda bagi mereka ialah Kami menghidupkan tanah yang mati.” Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, ”Maka Kami mengeluarkan melalui hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati.” Yakni, sebagaimana Kami menghidupkan tanah yang mati, maka seperti itu pula Kami menghidupkan tubuh yang telah menjadi belulang.[2]

D. Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-82

قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا(70) فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا(71)
Artinya: Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkannya padamu”. Maka berangkatlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu, dia melubanginya. Dia berkata, “Apakah engkau melubanginya sehingga mengakibatkan engkau menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan besar.”
Ayat 70 menerangkan bahwa hamba yang saleh (nabi) Khidir menetapkan syarat keikutsertaan nabi Musa a.s. dalam ayat tersebut dijelaskan Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku” secara bersungguh-sungguh, maka seandainya engkau melihat hal-hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan apa yang engkau kerjakan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau kuucapkan, sampai bila tiba waktunya nanti aku sendiri ysng menerangkannya kepadamu.
Di sisi lain, perlu dicatat bahwa jawaban hamba Allah yang saleh dalam menerima keikutsertaan Nabi Musa a.s. sama sekali tidak memaksanya ikut. Beliau memberi kesempatan kepada Nabi Musa a.s. untuk berfikir ulang dengan menyatakan, “Jika engkau mengikutiku.” Beliau tidak melarangnya secara tegas untuk mengajukan pertanyaan tetapi mengaitkan larangan tersebut dengan kehendak Nabi Musa a.s. untuk mengikutinya. Dengan demikian, larangan tersebut bukan datang dari diri hamba yang saleh itu, tetapi ia adalah konsekuensi dari keikutsertaan bersamanya. Perhatikanlah ucapannya: “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” Dengan ucapan ini, hamba yang saleh telah mengisyaratkan adanya hal-hal yang aneh atau bertentangan dengan pengetahuan Nabi Musa a.s. yang akan terjadi dalam perjalanan itu, yang boleh jadi memberatkan Nabi Musa a.s.
Setelah usai pembicaraan pendahuluan, sebagaimana dilukiskan ayat-ayat diatas, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan syarat yang telah dikehendaki, maka berangkatlah keduanya, yakni Musa dan hamba Allah yang saleh itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu hingga tatkala keduanya menaiki perahu, dia, yakni hamba yang saleh itu melubanginya. Nabi Musa a.s. tidak sabar karena menilai pelubangan itu sebagai suatu perbuatan yang tidak dibenarkan syariat, maka dia berkata pertanda tidak setuju, “Apakah engkau melubanginya sehingga dapat mengakibatkan engkau menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, aku bersumpah engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” Dia yakni hamba yang saleh itu berkata mengingatkan Nabi Musa a.s. akan syarat yang telah mereka sepakati, “Bukankah engkau telah berkata, ‘sesungguhnya engkau hai Musa sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam perjalanan bersamaku?”
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚسَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(78) أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79) وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚوَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82)
Artinya: Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku denganmu”. Aku akan memberitahukan kepadamu makna apa yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku ingin menjadikannya memiliki cela karena di balik sana ada raja mengambil setiap perahu secara paksa. Dan adapun anak remaja, maka kedua orangtuanya adalah dua orang mukmin, dan kami khawatir dia akan membebani kedua orangtuanya kedurhakaan dan kekufuran. Maka, kami menghendaki kiranya Tuhan mereka berdua mengganti bagi mereka berdua yang lebih baik darinya (dalam hal) kesucian dan lebih dekat (dalam) kasih sayang (-nya). Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya keduanya mencapai kedewasaan mereka berdua dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan aku tidaklah melakukannya berdasar kemauanku. Demikian itu makna apa yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya.
Telah tiga kali Nabi Musa as. melakukan pelanggaran. Kini cukup sudah alasan bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan. Karena itu, dia berkata: “inilah masa atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan antara aku denganmu, wahai Musa. Namun, sebelum berpisah aku akan memberitahukan kepadamu informasi yang pasti tentang makna dan tujuan di balik peristiwa-peristiwa yang engkau tidak dapat sabar menghadapinya”.
Lalu, hamba Allah yang saleh menerangkan pengalaman mereka satu demi satu: ”Adapun perahu-katanya-maka ia adalah milik orang-orang miskin yang mereka gunakan bekerja di laut untuk mencari rezeki, maka aku ingin menjadikannya memiliki cela sehingga dinilai tidak bagus digunakan, karena dibalik sana ada raja yang kejam dan selalu memerintahkan petugas-petugasnya agar mengambil secara paksa setiap perahu yang berfungsi baik”. Hamba Allah yang saleh itu seakan-akan melanjutkan dengan berkata: “Dengan demikian, apa yang kubocorkan itu bukanlah bertujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab terpeliharanya hak-hak orang miskin”. Memang, melakukan kemudharatan yang kecil dapat dibenarkan guna menghindari kemudharatan yang lebih besar.[3]
Selanjutnya, hamba Allah yang saleh itu menjelaskan latar belakang peristiwa kedua. Dia berkata: “Adapun si anak yang aku bunuh itu, maka kedua orangtuanya adalah dua orang mukmin yang mantap keimanannya dan Kami khawatir bahkan tahu, berdasar informasi Allah, bahkan jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa dia akan membebani kedua orang tuanya dengan beban yang sangat berat akibat keberanian dan kekejaman sang anak sehingga keduanya melakukan kedurhakaan dan kekufuran. Maka dengan membunuhnya-aku dengan niat di dalam hati- dan Allah SWT dengan kuasa-Nya menghendaki, kiranya Tuhan Yang Maha Esa yang disembah oleh ibu bapak anak itu mengganti buat mereka berdua anak lain yang lebih baik dalam hal kesucian, yakni sikap keberagamaannya dan lebih dekat lagi mantap dalam kasih sayang dan buktinya kepada kedua orang tuanya daripada anak yang kubunuh itu “.
Peristiwa terakhir dijelaskan oleh hamba Allah yang saleh itu dengan menyatakan: “Adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa mengambil upah itu, ia adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta simpanan orang tua mereka buat mereka berdua. Kalau dinding itu roboh, harta simpanan itu ditemukan dan diambil orang yang tidak berhak, sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh yang niatnya menyimpan harta itu untuk kedua anaknya. Maka Tuhanmu menghendaki dipeliharanya harta itu agar supaya keduanya mencapai usia dewasa dan menemukan simpanan kedua orangtuanya itu untuk mereka manfaatkan. Apa yang aku lakukan itu adalah sebagai rahmat terhadap kedua anak yatim itu dari Tuhamu “.
Lalu, hamba Allah yang saleh itu menegaskan untuk menampik kemungkinan dugaan melanggar agama bahwa, “Aku tidaklah melakukan apa yang telah kulakukan sejak pembocoran perahu, penegakan tembok, dan pembunuhan anak berdasar kemauanku sendiri. Tetapi, semuanya adalah atas perintah Allah melalui ilmu yang diajarkan-Nya kepadaku. Ilmu itu pun kuperoleh bukan atas usahaku, tetapi semata-mta anugerah-Nya. Demikian-lanjut hamba Allah itu-makna dan penjelasan peristiwa-peristiwa yang engkau tidak dapat sabar menghadapinya”.

D. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 14

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا (14)
Artinya: “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri sekarang penghisap atas dirimu.” (Q.S. Al-Isra ayat 14)
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah akan menyodorkan kepada manusia sebuah kitab yang menampakkan secara rinci semua amalnya dan kitab itu dijumpainya terbuka sehingga tidak ada yang ditutupi dan tersembunyi atau ia terbuka sehingga dengan mudah dan segera dapat dibacanya. Thabathaba’i menekankan bahwa yang dimaksud dengan kitab disini adalah himpunan dari amal-amal itu, bukannya tulisan-tulisan sebagaimana kitab yang tertulis dan kita kenal dengan kehidupan dunia ini. [4]

E. Pesan Tarbawi

1.      Sumber ilmu pengetahuan adalah Allah. Dia yang mengajar manusia dan mengilhaminya.
2.      Ada dua cara memperoleh pengetahuan. Pertama, dengan upaya manusia sendiri menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah SWT. Dan kedua, tanpa usaha manusia, seperti yang diperoleh melalui ilham, intuisi, dan wahyu ilahi. Yang kedua ini semata-mata karena Allah SWT bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
3.      Sebelum hujan turun, angin beraneka ragam, namun sedikit demi sedikit Allah SWT. mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya partikel-partikel itu sehingga ia tindih-menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Yang melakukan itu adalah Allah SWT. melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya. Demikian juga dia kuasa menghidupkan siapa yang telah mati dan menuntut dari mereka tanggung jawab masing-masing.
4.      Seseorang tidak boleh dipaksa mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ruhaniah atau tasawuf, karena ilmu ini tidak dapat dicerna oleh semua orang. Itu sebabnya sehingga hamba Allah itu berkata kepada Musa as., “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah....”
5.      Seseorang yang melakukan kesalahan serupa berkali-kali hendaknya menyadari kelemahan dirinya dan mempertimbangkan untuk melakukan langkah lain yang lebih sesuai dengan bakat atau kemampuannya.
6.      Segala yang buruk atau yang dapat berkesan buruk harus dihindarkan dari pensibahannya kepada Allah, karena itulah ketika hamba Allah membocorkan perahu, dia berucap,“maka aku ingin menjadikannya memiliki cela”. Sebaliknya segala yang baik hendaknya dinisbahkan kepada Allah, karena itu ketika menopang tembok yang hampir roboh, redaksi yang digunakannya, “maka Tuhanmu menghendaki”.
7.      Setiap orang memiliki kitab amal yang kini dalam kehidupan dunia masih tersembunyi dan tidak diketahui hakikatnya. Di hari kemudian kitab itu akan dikeluarkan dari “tempatnya” yang tersembunyi, lalu akan disodorkan kepada masing-masing pemiliknya sehingga terlihat dan terbaca dengan jelas lagi rinci isinya.








BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Pada surat Al-Alaq ayat 4-5 menjelaskan bahwa ada dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajar manusia. Pertama melalui media pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melaui pengajaran secara langsung tanpa alat (tanpa media). Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm ladunniy. Kemudian pada surat Al-A’raf ayat 57 media pendidikan yang dimaksud adalah meniupkan aneka angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya, yakni sebelum turunnya hujan.
Kemudian di surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-82 media pendidikannya adalah perahu yang dilubangi, anak yang dibunuh, dan dinding rumah. Yang terakhir adalah surat Al-Isra’ ayat 14 media pendidikan yang digunakan adalah kitab.

B. Saran

Kami selaku penulis telah melakukan pengamatan, mencari, dan membaca sebagai referensi kami dalam penulisan makalah ini. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyarankan pembaca untuk membaca sumber referensi lain yang berkaitan dengan media pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an.






DAFTAR PUSTAKA


Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib . 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Gema Insani.
Sadiman, Arief S., dkk. 2012. Media Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Misbah Jilid 6. Jakarta: Lentera Hati.




     [1] Arief S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), cet. ke-16 hlm. 6.
     [2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 377.
     [3] M. Quraish Shihab, AL-Lubab, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 315.
     [4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), cet. ke-5 hlm. 45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Sifat dan Kepribadian Pendidik Hadits Tarbawi